Aku dan salah
satu sahabatku, Risa, berencana untuk berlibur setelah kami pulang dari
pelatihan kerja. Penat, capek. Butuh refreshing otak. Sibuk iya, kaya kagak.
Hehehe.. Mumpung ada waktu, kami backpackeran biar hemat. Pilihan kami waktu itu adalah Yogyakarta.
Kami ingin kembali ke kota tempat kami kuliah dulu. Dari Jakarta kami menuju
Yogyakarta dengan kereta api. Dari stasiun Gambir di Jakarta menuju stasiun
tugu Yogyakarta.
Sebagaimana
ala backpacker, tentunya kami memberitahu teman-teman yang tinggal di Jogja
agar kami bisa mendapatkan teman bermain selama di Jogja, sekalian jadi guide,
tempat menginap gratis, sekaligus reuni. Teman-teman Risa semua pada sibuk, aku
menghubungi temanku, hampir semuanya gak bisa janji bisa nemenin. Aku agak ragu
untuk menghubungi salah satu sahabatku, Wina.
****
Namanya Wina.
Dulu kami berteman sangat akrab. Gimana
nggak, kami teman satu kos, satu kelas, dan satu organisasi. Kemana-mana sering
bareng. Untungnya kami masih wanita normal, masih suka sama pria. Sampai
akhirnya kami bertengkar, hingga kami tidak berkomunikasi satu sama lain untuk
waktu yang cukup lama, kira-kira 2 tahun.
Apalagi yang bisa membuat dua orang sahabat
bertengkar selain karena Pacar? Ah, bukan. Lebih tepatnya karena selisih paham
antara aku dan Wina tentang pacarnya. Sudah kukatakan berulang kali agar dia
tidak usah dekat dengan pria itu. Pria hidung belang macam itu tidak sepadan
untuk mendapatkan sahabatku Wina. Wina sangat baik, cerdas, dan cantik. Tapi
untuk masalah cinta, dia masih sangat lugu. Mungkin karena saking lugunya,
makanya dia mudah tergoda oleh rayuan Zico, pria hidung belang yang hobinya
gonta-ganti pasangan. Awalnya aku menolak Zico, karena sepengetahuanku, Zico
terkenal sebagai seorang playboy kelas kakap. Jangankan dari fakultas lain atau
dari universitas lain, dari jurusan kami sendiri, sudah banyak yang jadi korban
Zico. Baik jadi mantan pacar maupun hanya TTM-an. Tetapi Wina berpandangan berbeda denganku.
Wina berpendapat Zico merupakan sosok pria yang tampan, baik,
dan menurut Wina, Zico sering sekali memberikannya nasihat-nasihat yang
sangat mujarab kalau dia sedang dalam kesulitan. Dengan keyakinan bisa mengubah
Zico, Wina menerima Zico menjadi pacarnya.
Selang 4
bulan berpacaran saja, malam itu aku memergoki Zico bermesraan dengan wanita
lain di sebuah warung di Bukit Bintang. Aku menegurnya agar jangan macam-macam
dengan sahabatku Wina. Tapi aku tidak memberitahu Wina hal ini, karena aku
takut membuatnya kecewa dan patah hati.
Malam itu
juga tiba-tiba saja ada BBM masuk dari Wina.
“Ci, Zico
sama Indah tuh cuma temanan doang kok. Gak ada apa-apanya. Tadi Zico cerita
ketemu kamu. Tapi kamunya salah paham. Makanya aku mau ngelurusin. Mereka cuma
makan malam karena udah kelaparan abis ngerjain tugas tadi.”
Aku bingung
darimana Wina tau Zico dan Indah makan bareng tadi. Cuma temenan? Temenan kok
sampe pegang-pegangan tangan, peluk-pelukan, sambil ciuman gitu! Cuma makan
malam abis kerja kelompok? Masak makan sampe ke Bukit Bintang gitu! Zico pasti
sudah merekayasa ceritanya deh. Takut ketahuan sifat aslinya.
Aku ceritakan
pertemuanku dengan Zico dan apa yang sebenarnya terjadi. Sayang sekali,
bukannya didengarkan, Wina justru memarahiku. Tidak habis pikir, entah apa yang
membuatnya justru galau di status BBMnya. Ia membuat status yang berubah-ubah
dalam sehari itu. Intinya ya galau dan menyindirku. Yang membuatku lebih marah
lagi, 2 hari setelah kejadian itu, dia malah menghapusku dari kontaknya. Aku
tersinggung dan kesal. Entah apa yang sebenarnya dikatakan Zico pada Wina. Mulai
saat itu, kami tidak pernah bertegur sapa ataupun berkomunikasi .
Aku dengar 3
bulan dari situ, Wina dan Zico putus. Tapi yang lebih membuatku marah lagi...
Ah, sudahlah. Tak layak kuceritakan disini. Tapi tetap saja kami tidak seakrab
dulu lagi. Setelah kami wisuda dan aku kembali ke kota kami masing-masing, Wina
pernah meng-invite BBM ku lagi. Aku terima. Tapi tidak ada kata “Haiiii.. Lama
gak jumpa!” kayak di film-film atau iklan TV. Kami hanya ngobrol kalau lagi
hari raya saja, saling mengucapkan ucapan selamat Hari Raya.
****
Saat itu aku
memberanikan diri untuk BBM Wina untuk
mengajaknya keluar bersama kami karena
bermain dan jalan-jalan sendiri atau berdua saja itu agak kurang heboh. Wina
meng’iya’kan ajakan kami. Kami janjian untuk bertemu di salah satu cafe di
dekat alun-alun kidul pagi itu.
Aku begitu
deg-deg an. Gimana gak, aku berpikir akan berasa canggung untuk mengobrol
dengan orang yang sudah lama kita gak ketemu. Apalagi karena bertengkar.
Takutnya, Wina ngecap kami yang jelek lagi. Giliran butuh, baru nghubungi dia.
Rasanya pengen banget batalin janji ketemu waktu itu, tapi kata Risa, bakalan
gak enak kalau gak rame.
Kami bertemu
Wina . Tidak ada yang berbeda dari Wina selain dia sekarang berhijab, dia masih
cantik dan baik seperti dulu. Tidak kusangka Wina sangat ramah dan bersikap
hangat kepada kami. Bahkan dia memelukku seperti tidak pernah ada pertengkaran
di antara kami. Bahkan dia membawakanku Chiffon Cake buatannya sendiri.
Akhir-akhir ini Wina membuka order Chiffon Cake sebagai gaji tambahan. Bahkan
Wina ternyata membolos dari jadwal kuliahnya. Wina kuliah S1 lagi mengambil
jurusan yang berbeda. Aku terharu dengan apa yang dilakukan Wina terhadap kami.
Kami langsung
pergi dengan motor sewaan kami menuju Pantai Baron. Kurang lengkap rasanya
kalau tidak pergi ke pantai. Kami bermain
di riak ombak tepi pantai, berfoto bersama, lalu makan ikan bakar di warung
makan yang banyak berjejer disitu. Kami bercerita panjang lebar tentang masa
lalu kami, tanpa menyinggung bagian pertengkaran kami. Aku bersyukur Wina tidak
berpikir buruk tentang kami. Seperti tidak pernah ada jarak di antara kami,
sebagaimana kami dulu. Sekembalinya dari pantai, kami melanjutkan malam dengan bermain odong-odong yang berkelap-kelip
di sekitaran alun-alun kidul, melihat pameran burung-burung, dan bermain
melintasi beringin kembar. Lelah bermain, kami beristirahat sambil makan-makan
di lesehan yang ada di lapangan alun-alun kidul. Kami memesan mie godhog dan
wedang untuk menutupi kelaparan kami setelah capek bermain.
Sambil
menyantap makanan kami, kami bercerita panjang lebar tentang kehidupan kami
sekarang. Lalu tiba-tiba saja Wina
berkata, “Kau tau, Ci, aku pikir kau benar. Aku sungguh benar-benar menyesal
saat itu. Setelah tau siapa Zico sebenarnya.” Aku yang sedang khusyuk
menyeruput mie godhog dari piringku pun terkejut. Aku menatapnya iba. Tiba-tiba
saja air matanya jatuh. Aku dan Risa hanya bisa saling bertukar pandang kaget. Wina
bercerita bagaimana hancurnya dia setelah kejadian itu. Dia benar-benar merasa
kesepian. Seolah tidak ada lagi yang mau mendengarkannya, menemaninya.
Seolah-olah hanya dirinya yang menjadi manusia paling berdosa di dunia ini.
Bahkan terkadang ia merasa ingin sekali bunuh diri saat itu, namun selalu gagal.
“Sudahlah,
Win. Pada akhirnya kau sudah tau kan. Aku tidak bisa berkata banyak. Bukankah
semuanya adalah keputusanmu? Jalani saja. Sulit memang, tapi percayalah, kau
mampu menjalaninya.” Aku menatapnya. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi karena
aku tahu, mungkin saat ini kata-kata hanya akan terdengar basi di telinganya. Kasihan
Wina, pikirku.
Angin malam
bertiup menerpa wajah kami. Dan kulihat dia sudah menghapus air matanya,
menegakkan wajahnya, dan memandang kami lalu tersenyum. Dua orang pengamen
menghampiri kami, mendendangkan lagu Yogyakarta miliknya Katon Bagaskara.
"Pulang ke kotamu, ada setangkup
haru dalam rindu
Masih seperti
dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan
nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja
...... "
****
Kami
menyelesaikan perjalanan kami di Jogja malam itu. Wina bahkan mengantar kami ke
stasiun Tugu. Aku dan Risa berpamitan dengan Wina. Ia memelukku sambil menangis. Sejenak kuingat
masa-masa kami kuliah dulu. Seakan terbawa ke masa lalu, aku pun ikut menangis.
Aku merasakan beban berat yang dirasakan Wina. Di umur yang masih muda, dia
harus menanggung seberat itu.
“Kami pulang
dulu ya Win. Jaga dirimu dan anakmu baik-baik. Semangat ya Wina sayang. Kalau
kamu mau cerita, telepon atau hubungi aku ya. Tenang saja. Aku masih sahabatmu,
sahabatku. “ Aku tersenyum. Aku harap setidaknya itu bisa sedikit
menenangkannya. Terkadang kita tidak bisa memberi materi, tapi menjadi
pendengar yang baik dan bahu bagi setiap orang yang ingin menangis itu sudah
lebih dari cukup. Sebelum pulang, aku menasihatinya sembari berbisik dan memeluknya,“Win, ingat.
Tidak semua perkataan manis itu baik, dan tidak semua yang pahit itu racun,
melainkan juga obat. Sahabat yang baik tidak hanya mendukung sahabatnya, tetapi
juga menegur sahabatnya jika salah.”
-end.
Cerpen ini
ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari
Tiket.com dan
nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis .